Kamis, 31 Mei 2012

Mengapa siang hari langit berwarna biru, sore hari berwarna merah ?





Mengapa langit berwarna biru?  Untuk menjawab pertanyaan ini paling tidak kita perlu mengkaji dua hal, yakni tentang atmosfer dan karakter cahaya. Hal ini mengingat fenomena langit berwarna biru melibatkan kedua komponen tersebut. Cahaya yang datang dari matahari akan mengalami hamburan (scattering) ketika melewati partikel yang mengisi atmosfer. Tanpa atmosfer, maka langit kita akan gelap sepanjang hari. Hal ini karena tidak ada molekul yang dapat menghamburkan cahaya ke berbagai arah. Dalam keadaan semacam itu, bintang dapat dilihat di siang hari dan cahaya matahari dapat dilihat hanya jika kita melihatnya secara langsung. Keadaan ini persis sama dengan keadaan dari berbagai planet lain di tata surya matahari yang tidak memiliki atmosfer.

Atmosfer merupakan percampuran dari berbagai gas dan molekul yang melingkupi permukaan bumi. Komponen utamanya adalah gas nitrogen (78%) dan oksigen (21%). Selebihnya, atmosfer terisi oleh gas argon, air (baik dalam bentuk uap air maupun kristal es), dan berbagai partikel padat seperti debu, partikel-partikel sisa pembakaran (polutan), dan juga garam (terutama untuk daerah di atas permukaan laut).

Cahaya merupakan energi yang diradiasikan melalui suatu gelombang. Gelombang yang dimaksud adalah gelombang elektromagnetik . Dinamakan seperti itu karena gelombang tersebut dibangun oleh getaran medan listrik dan medan magnet secara serentak secara saling tegak lurus.


Ketika cahaya putih (yang di dalamnya terkandung merah jingga kuning hijau biru nila ungu) diradiasikan dari matahari dan melewati atmosfer, maka cahaya putih tersebut akan mengalami beberapa peristiwa. Pertama, cahaya tersebut akan diserap oleh berbagai molekul yang mendiami atmosfer. Kedua, setelah diserap cahaya tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer. Peristiwa inilah yang kita sebut sebagai hamburan cahaya. 


Pada peristiwa penyerapan bisa dibilang tidak ada sesuatu yang menarik. Namun pada saat cahaya dilepas dari molekul, muncul suatu fenomena yang menarik untuk dianalisis. Ternyata cahaya dengan energi yang besar (frekuensi besar) akan diradiasikan lebih banyak daripada cahaya dengan energi rendah (frekuensi rendah). Melalui analisis yang detail diperoleh hubungan bahwa jumlah energi yang diradiasikan pada peristiwa hamburan adalah sebanding dengan pangkat empat frekuensinya. Sehingga jika diketahui panjang gelombang ungu adalah 400 nm dan merah adalah 700 nm, maka perbandingan pangkat empat frekuensi kedua cahaya (Ungu : Merah) dapat dihitung sebesar (700 nm/400 nm)^4 dan diperoleh 9,4. Artinya cahaya ungu diradiasikan 9 kali lebih banyak daripada cahaya merah. Itulah sebabnya pada siang hari kita melihat langit berwarna biru. Tapi mengapa biru? Bukankah ungu memiliki frekuensi yang lebih tinggi dan oleh karenanya semestinya paling banyak diradiasikan? Mengapa langit tidak berwarna ungu?


Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melibatkan ilmu tentang mata sebagai alat indra yang digunakan untuk melihat. Di dalam retina mata terdapat tiga reseptor warna, yakni reseptor merah, biru, dan hijau. Masing-masing reseptor sensitif untuk masing-masing warna. Sehingga ketika ada beberapa warna mesuk ke retina secara bersamaan, maka masing-masing warna akan ditangkap oleh reseptor yang sesuai.
Nah..pada peristiwa hamburan cahaya, berdasarkan nilai frekuensinya maka warna biru dan ungu adalah warna yang paling banyak dihamburkan. Namun langit tampak berwarna biru karena di dalam retina terdapat sel reseptor biru yang lebih sensitif untuk menangkap warna biru ketimbang ungu. Akibatnya, kesan warna yang paling dominan untuk dilihat adalah biru. Demikianlah mengapa langit berwarna biru.
Pertanyaannya, lalu apa yang terjadi dengan warna merah, jingga dan kuning tersebut? Bagaimana nasibnya? Kemana ia pergi?


Nah…jawaban dari pertanyaan ini akan membawa kita pada pemahaman mengapa langit di ufuk barat tampak berwarna jingga pada sore hari. Kenapa demikian? Ya…karena ketika warna biru dan ungu sudah lebih banyak dihamburkan, maka warna-warna dengan frekuensi kecil seperti merah, jingga, dan kuning tetap bergerak lurus melewati atmosfer. Akibatnya, pada belahan bumi yang lebih timur, orang sudah tidak lagi dapat melihat warna biru dan ungu karena sudah dihamburkan. Saat itu, orang pada belahan bumi yang lebih timur hanya akan melihat “sisa” warna yang belum terhamburkan. Sisa warna yang masih ada adalah percampuran antara merah, jingga, dan kuning. Itulah sebabnya mengapa langit tampak berwarna merah ketika sore hari.
Secara lebih deskriptif, Gambar berikut barangkali akan lebih memperjelas pemahaman kita.
 
Gambar Peristiwa Hamburan Cahaya (di ambil dari http://www.math.ucr.edu/home/baez/physics/General/BlueSky/blue_sky.html)


Sebagai permisalan ada dua orang A dan B. Masing-masing berada pada belahan bumi yang berbeda. A sedang berada di suatu belahan bumi yang sedang mengalami siang hari, sedangkan B berada lebih timur dari A dan oleh karenanya ia telah memasuki waktu sore hari.


Matahari akan meradiasikan cahaya putih dalam arah lurus seperti pada Gambar. Jarak antara A dengan matahari lebih pendek jika dibandingkan B yang sudah masuk sore hari. Pada jarak yang pendek tersebut cahaya putih dari matahari akan mengalami hamburan terutama untuk warna biru dan ungu karena berfrekuensi tinggi. Peristiwa ini, seperti yang telah di bahas sebelumnya, menyebabkan si A akan melihat bahwa langit berwarna biru. Namun pada jarak yang lebih jauh, yakni bagi si B, ia sudah tidak lagi bisa melihat warna biru. Hal ini karena sebagian besar warna biru telah dihamburkan di belahan bumi yang sedang siang hari. Oleh karena itu, tinggal warna merah, jingga dan kuning saja yang masih diteruskan sampai ke mata si B. Itulah sebabnya, kenapa sore hari langit cenderung berwarna jingga kemerah-merahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar